Senin, 28 Januari 2019

My Journey to Zero Waste

Hai, assalamualaikum, Bloggies :)
Lama juga ya gue nggak posting. Mumpung masih awal-awal 2019, gue mau share satu kejadian paling berkesan buat gue di akhir 2018. Gue inget banget waktu itu tanggal 20 November, saat berita tentang ditemukannya Paus Sperma yang mati di Kabupaten Wakatobi, dengan keadaan di dalam perutnya terdapat 5,9kg sampah plastik. Itu beneran gue kaget, sedih, dan marah. Ini salah kita, ya nggak sih?
Jadilah gue follow akun-akun zerowaste. Saat itu rasanya banyak banget dapat pengetahuan, tapi nggak tau mesti mulai dari mana. Pokoknya yang tertanam di otak cuma "ini salah kita." Titik. 
Terus mulai ikutin tips-tipsnya dari hestek #belajarzerowaste. Bawa wadah sendiri. Minum nggak pakai sedotan. Begini, begitu, gini, gitu, ujung-ujungnya malah jadi gamang. Kayak, "Abis ini mau ke mana, ya? Abis ini mau ngapain, ya?"
Habis itu, semua orang yang gue lihat nenteng plastik, bawa minuman di gelas plastik, makan di resto fast food, semua salah. Semua pendosa. Jadi de javu waktu gue awal-awal hijrah dulu. Semua orang salah, semua hal haram. Sama kayak gitulah. Untungnya nih ya, gue masih inget perasaan itu, makanya gue langsung, "Ah, nggak boleh gini. I'm doing it wrong."
Gue cari-cari lagi di hestek tadi (berhubung saat itu dari situlah gue dapet pencerahan paling banyak) dan gue ketemu satu buku. Judulnya Menuju Rumah Minim Sampah, ditulis oleh DK Wardhani. Langsung aja gue pesen. Alhamdulillah PO dua hari, bukunya langsung dikirim. 
Jadi, postingan gue ini akan ngambil beberapa bagian dari buku itu, ya. Semoga penyampaian gue benar.

zero waste


1. Kesalahan pertama gue: mindset
Iya, ini harus banget diakui. Gara-gara sejak awal gue udah menempatkan diri pada "kita", bahwa segala masalah ini adalah masalah kita. Well, benar sih, tapi sebelum "kita", ada siapa? Ada gue. Mestinya gue mulai dulu dari diri sendiri. Setelah ngubah mindset, fokus pada pencapaian diri sendiri, akhirnya hidup gue terasa lebih tenang.

2. Memahami konsep zero waste
Sebelum mempraktikkan zero waste, kita harus tanamkan dulu kesadaran bahwa:
kita ini masih menghasilkan sampah. Sadar mana dan seberapa sampah yang akan kita buang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Sadar bahwa sampah kita adalah tanggung jawab kita (halaman 11).

Dari sini, kita masuk ke 5 R-nya Bea Johnson (Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, Rot). Kalau versi Mbak Dhini adalah 3 AH: cegah, pilah, olah.
Dalam proses cegah, ada strategi tiga pintu. Sebelum terlalu jauh, kita setop sampai sini dulu ya, tentang 5 R dan 3 AH. Ini perlu pembahasan sendiri soalnya. Insyaallah akan jadi postingan setelah ini. 

Jadi, zero waste itu apa? Zero waste adalah gerakan yang mengampanyekan supaya orang-orang mengurangi sampah, kalau bisa sampai nol, sehingga nggak ada yang masuk ke TPA (zero waste to landfill). Makanya, baik Bea Johnson maupun Mbak Dhini sama-sama mengawali dengan langkah awal: menolak. Karena kalau nggak ada sampah yang masuk, ya nggak akan ada yang keluar.
Atau kalaupun masuk, diusahakan sebisa mungkin digunakan berulang, dimanfaatkan menjadi bentuk lain, atau kalau terpaksa dibuang, dipilah dulu supaya pendistribusiannya gampang.
Itulah makanya, zaman sekarang buang sampah pada tempatnya pun udah nggak cukup.
Karena semua sampah yang kita buang itu, berakhir di TPA. Padahal, masih ada barang yang bisa dimanfaatkan, misalnya. Tapi karena telanjur bercampur dengan sampah lain, jadi rusak.
TPA Bantar Gebang diperkirakan hanya bisa beroperasi sampai tahun 2021 saking banyaknya sampah yang dibuang di sana. Bisa 7.000 ton/hari. 

Nah, kalau kita udah tau goal kita ber-zero waste adalah bertanggung jawab pada diri sendiri terhadap sampah kita, dengan cara 5 R atau 3 AH tadi, kita akan lebih gampang fokus.
Gue sendiri lebih nyaman dengan cara 3 AH yang sebetulnya udah mencakup 5 R-nya Bea Johnson juga.
Penerapan gue terhadap 3 AH insyaallah akan jadi postingan berikutnya, ya :) 

Versi yotube-nya sudah tayang di sini: