Selasa, 31 Desember 2019

Sunat Klamp di Rumah Sunatan

OMG udah tanggal 31 Desember aja dan blog ini udah berdebu, ahahahahahaha..
Baiklah sebelum memasuki 2020, gue mau cerita dulu tentang khitanan si bungsu tahun 2018 yang lalu. Iya udah setahun tapi belum sempet2 ditulis :D
Jadi, sebelum ulang tahunnya yang keenam, tau2 aja si bungsu bilang, "Ma, Zaidan udah disunat belum sih?"
"Belum. Kenapa? Mau?"
Dia ngangguk2. Ya udah deh. Mungkin karena beberapa temen sekelasnya ada yang udah sunat juga kali ya, jadi dia tergugah. Dan konon katanya kalo anak udah siap sunat, harus disegerakan ya kan?
Waktu itu pilihan jatuh ke sunat klamp karena melihat kakak sepupunya yang habis sunat sudah bisa masuk sekolah dan pakai celana panjang biasa.
Kami pilih Rumah Sunatan yang di Kebayoran Lama karena lokasinya dekat rumah. Tepatnya di Jl. Raya Ps. Kby. Lama No.33A, RT.7/RW.06, Kby. Lama Utara, Kec. Kb. Jeruk, Jakarta Barat.
No. telp. 53662030



Pasca sunat

Sunat klamp tidak menggunakan suntik bius, tapi menggunakan alat bernama jet injection. Alatnya tuh kayak apa ya ... kayak pistol-pistolan deh menurut gue. Cara kerjanya memanfaatkan tekanan udara melalui pori-pori kulit. Pertama kali "ditembak", Zaidan menjerit kaget. Yang kedua juga. Begitu ketiga dan keempat, dia udah biasa aja.
Oiya, selama proses pemasangan klamp, dia dipinjemin tablet yang isinya macam-macam games. Ya udah deh, anteng. Maaf nggak ada foto selama proses pemasangan karena mamanya nggak boleh lepas pelukan. Dia minta dipeluk sepanjang proses berlangsung, hehehe....
Ada juga video dari Hp ayahnya, tapi ya masa dipampangin di blog. 
Intinya pemasangan klamp berjalan lancar, malah saking cepetnya pas udah selesai dan tabletnya harus dikembalikan, dia protes.
Habis sunat, Zaidan dipakaikan celana khusus yang bisa menjaga kondisi klamp-nya. Waktu itu Zaidan pakai celana panjang dengan pinggang karet sih, agak longgar, makanya bisa dipakai lagi untuk foto seperti di atas. Tapi habis itu dokternya menyarankan dilepas aja, biar aja dia pakai celana khusus itu (aduh gue lupa lagi apa nama celananya).
Sebelum pulang, kami dibekali satu tas berisi segala macam untuk perawatan selama 5-7 hari sebelum kontrol untuk lepas klamp, sertifikat sunat, dan celana anti-air untuk mandi karena kondisi klamp harus selalu kering. Berhubung emaknye Zaidan rada clumsy, ya udahlah selama seminggu itu dia mandinya dilap aja bagian atas dan paha ke bawah. 

Dapat sertifikat 

Celana khususnya yang warna biru, celana mandinya yang oranye

Setiap habis kencing, bagian klamp dikeringkan menggunakan cotton bud. Beberapa kali gue nelepon ke Rumah Sunat buat nanya2. Mbaknya kooperatif dan baik banget, penjelasannya detail. Sayang lupa tanya namanya....
Oiya, biusnya akan hilang saat malam, tapi dikasih pain killer kok dari dokternya. Zaidan malam itu nangis sedikit dan sebentar (dia kalo nangis emang nggak lama2), tapi piluuuuuu banget ngedengernya.... T^T
Eh alhamdulillah besokannya dia udah hepi lagi, main sepanjang hari. Harusnya Seninnya udah boleh sekolah, tapi dia minta di rumah aja. Ya udahlah. Toh gurunya juga tau dia habis sunat.


Setelah seminggu, balik ke sana untuk lepas klamp, dan selama dua minggu bekas lukanya harus benar-benar dirawat. 

Foto bareng dokter sehabis lepas klamp
Oiya, karena ini kejadiannya setahun lalu, mungkin ada perubahan biaya. Jadi, gue udah nelepon untuk memastikan.
Biaya sunat klamp-nya per tanggal 31 Desember 2019: Rp2.000.000,00, belum dengan celana, kotak perawatan, dan obat. Total Rp2.370.000,00.
Jadi, adakah yang anaknya sunat klamp juga? Share dong pengalamannya :)


Senin, 28 Januari 2019

My Journey to Zero Waste

Hai, assalamualaikum, Bloggies :)
Lama juga ya gue nggak posting. Mumpung masih awal-awal 2019, gue mau share satu kejadian paling berkesan buat gue di akhir 2018. Gue inget banget waktu itu tanggal 20 November, saat berita tentang ditemukannya Paus Sperma yang mati di Kabupaten Wakatobi, dengan keadaan di dalam perutnya terdapat 5,9kg sampah plastik. Itu beneran gue kaget, sedih, dan marah. Ini salah kita, ya nggak sih?
Jadilah gue follow akun-akun zerowaste. Saat itu rasanya banyak banget dapat pengetahuan, tapi nggak tau mesti mulai dari mana. Pokoknya yang tertanam di otak cuma "ini salah kita." Titik. 
Terus mulai ikutin tips-tipsnya dari hestek #belajarzerowaste. Bawa wadah sendiri. Minum nggak pakai sedotan. Begini, begitu, gini, gitu, ujung-ujungnya malah jadi gamang. Kayak, "Abis ini mau ke mana, ya? Abis ini mau ngapain, ya?"
Habis itu, semua orang yang gue lihat nenteng plastik, bawa minuman di gelas plastik, makan di resto fast food, semua salah. Semua pendosa. Jadi de javu waktu gue awal-awal hijrah dulu. Semua orang salah, semua hal haram. Sama kayak gitulah. Untungnya nih ya, gue masih inget perasaan itu, makanya gue langsung, "Ah, nggak boleh gini. I'm doing it wrong."
Gue cari-cari lagi di hestek tadi (berhubung saat itu dari situlah gue dapet pencerahan paling banyak) dan gue ketemu satu buku. Judulnya Menuju Rumah Minim Sampah, ditulis oleh DK Wardhani. Langsung aja gue pesen. Alhamdulillah PO dua hari, bukunya langsung dikirim. 
Jadi, postingan gue ini akan ngambil beberapa bagian dari buku itu, ya. Semoga penyampaian gue benar.

zero waste


1. Kesalahan pertama gue: mindset
Iya, ini harus banget diakui. Gara-gara sejak awal gue udah menempatkan diri pada "kita", bahwa segala masalah ini adalah masalah kita. Well, benar sih, tapi sebelum "kita", ada siapa? Ada gue. Mestinya gue mulai dulu dari diri sendiri. Setelah ngubah mindset, fokus pada pencapaian diri sendiri, akhirnya hidup gue terasa lebih tenang.

2. Memahami konsep zero waste
Sebelum mempraktikkan zero waste, kita harus tanamkan dulu kesadaran bahwa:
kita ini masih menghasilkan sampah. Sadar mana dan seberapa sampah yang akan kita buang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Sadar bahwa sampah kita adalah tanggung jawab kita (halaman 11).

Dari sini, kita masuk ke 5 R-nya Bea Johnson (Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, Rot). Kalau versi Mbak Dhini adalah 3 AH: cegah, pilah, olah.
Dalam proses cegah, ada strategi tiga pintu. Sebelum terlalu jauh, kita setop sampai sini dulu ya, tentang 5 R dan 3 AH. Ini perlu pembahasan sendiri soalnya. Insyaallah akan jadi postingan setelah ini. 

Jadi, zero waste itu apa? Zero waste adalah gerakan yang mengampanyekan supaya orang-orang mengurangi sampah, kalau bisa sampai nol, sehingga nggak ada yang masuk ke TPA (zero waste to landfill). Makanya, baik Bea Johnson maupun Mbak Dhini sama-sama mengawali dengan langkah awal: menolak. Karena kalau nggak ada sampah yang masuk, ya nggak akan ada yang keluar.
Atau kalaupun masuk, diusahakan sebisa mungkin digunakan berulang, dimanfaatkan menjadi bentuk lain, atau kalau terpaksa dibuang, dipilah dulu supaya pendistribusiannya gampang.
Itulah makanya, zaman sekarang buang sampah pada tempatnya pun udah nggak cukup.
Karena semua sampah yang kita buang itu, berakhir di TPA. Padahal, masih ada barang yang bisa dimanfaatkan, misalnya. Tapi karena telanjur bercampur dengan sampah lain, jadi rusak.
TPA Bantar Gebang diperkirakan hanya bisa beroperasi sampai tahun 2021 saking banyaknya sampah yang dibuang di sana. Bisa 7.000 ton/hari. 

Nah, kalau kita udah tau goal kita ber-zero waste adalah bertanggung jawab pada diri sendiri terhadap sampah kita, dengan cara 5 R atau 3 AH tadi, kita akan lebih gampang fokus.
Gue sendiri lebih nyaman dengan cara 3 AH yang sebetulnya udah mencakup 5 R-nya Bea Johnson juga.
Penerapan gue terhadap 3 AH insyaallah akan jadi postingan berikutnya, ya :) 

Versi yotube-nya sudah tayang di sini: